Locus of Control (LoC) adalah sikap seseorang dalam mengartikan sebab dari suatu peristiwa. Seseorang dengan Internal LoC adalah mereka yang merasa bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tertentu. Hasil adalah dampak langsung dari tindakannya. Sedangkan, orang dengan External LoC adalah mereka yang sering menyalahkan (atau bersyukur) atas keberuntungan, petaka, nasib, keadaan dirinya, atau kekuatan-kekuatan lain di luar kekuasaannya.
Tiap orang menilai kekuatan-kekuatan yang menghasilkan keberhasilan (sukses) dan kegagalan dengan sikap berbeda-beda. Seorang pelamar kerja yang sudah berkali-kali mengikuti tes dan tidak pernah lolos seleksi, misalnya, bisa saja menyalahkan dirinya karena kekurangannya. Ia mungkin berpikir, ah saya sarjana payah. Pendek kata, ia menilai kegagalannya berasal dari dalam dirinya (Faktor Internal - FI).
Suatu hari, tesnya berhasil. Ia mungkin saja menilai bahwa keberhasilannya bukanlah disebabkan FI-nya, seperti kecerdasan atau kemampuan berbahasa. Tapi, karena keberuntungan. Ah, demikian pikirnya, barangkali karena tidak banyak yang melamar. Jadi, ia menyikapi kegagalan dan keberhasilan dirinya dengan cara berbeda. Ia menerima kegagalannya karena FI tapi keberhasilannya karena FE (Faktor Eksternal). Kesimpulannya, orang bisa punya LoC yang berbeda, baik untuk sukses maupun gagal.
Selain dikotomi internal dan eksternal, penting untuk memahami keadaan stabil dan labil. Sekali lagi contohnya orang yang menjalani tes. Alkisah, nilainya jatuh, karena pada saat tes ia kelelahan dan konsentrasinya buyar karena ibunya masuk UGD. Jika ia tes lagi dalam keadaan bugar dan ibunya baik-baik saja, ia akan bisa mencetak nilai tes yang bagus. Keadaan ia sedang lelah kita sebut FI sedang labil; dan fakta bahwa ibunya di UGD kita sebut sebagai keadaan (FE) sedang labil, yang sifatnya sementara.
Saat menghadapi kegagalan, kita dianjurkan untuk menyikapinya sebagai keadaan FI sedang labil. Juga FE yang kurang mendukung. Contoh, seorang atlet hari itu prestasinya memble karena sedang pilek dan kakinya keseleo (FI sedang labil), ditambah lagi cuaca habis hujan, becek dan licin (FE sedang labil). Dengan demikian harga diri dan rasa percaya dirinya terlindung dengan baik. Pada lain kesempatan, di mana FI stabil dan FE seperti biasanya, ia akan berprestasi.
Yang terjadi sering terbalik. Ada yang menganggap keberhasilannya karena dukungan FE, misalnya karena ekonomi bagus, dll. Dan, ketika ia menghadapi kegagalan, ia malahan menuduh FI sebagai biangnya, misalnya ia merasa ia goblok. Jika kegagalan itu terjadi beruntun, lama kelamaan harga diri dan rasa percaya dirinya akan ambyar sehingga ia terpuruk.
Sikap yang benar adalah menempatkan FI sebagai faktor yang membuat Anda meraih sukses. Jika Anda naik gaji atau dapat promosi, katakan pada diri sendiri bahwa Anda memperolehnya karena FI yang Anda miliki: kecerdasan, karisma, atau pun ketekunan. Bukan karena FE: anugerah dari bos. Anda layak mendapatkan keberhasilan itu karena jerih payah Anda sendiri, karena memang Anda punya kelebihan. Jika Anda tidak kena PHK, itu bukan karena Anda beruntung atau dikasihani bos, tapi memang Anda tahan banting. Jika Anda tiba-tiba mendapat peluang, itu bukan karena beruntung, tapi karena Anda sudah mejeng memposisikan diri untuk meng-embat peluang itu.
Saat menghadapi keberhasilan, sangat bijak untuk tidak membesar-besarkan FE, tapi jika Anda sedang dirundung kegagalan, lebih bijak menyimak FI dan FE lebih saksama. Yang disimak apa? Stabilitas. Bisa jadi FI kita sedang labil misalnya sakit. Atau, karena FE yang sedang labil, misalnya ada huru hara. Dengan demikian bagian FI kita yang rawan, yakni harga diri dan rasa percaya diri, akan terlindung.
Labil bermakna bahwa faktor-faktor itu bersifat sementara. Jika faktor-faktor itu sudah stabil, kita akan mudah bangkit lagi dan tidak gagal. Kita bisa mengerahkan FI yang lebih berdaya guna. Dengan demikian kita mampu menghadapi kegagalan bertubi-tubi tanpa menjadi terpuruk dalam lembah keputusasaan. Kita mampu memahami bahwa kegagalan yang kita derita sifatnya sementara. Dalam kata-kata puitis ‘mendung tak selalu kelabu’, ‘ badai pasti berlalu ‘, ‘esok penuh harapan’. Cengeng dan klise ? Mungkin. Tapi, percayalah ini pernyataan ilmiah yang didukung dengan riset.
portalhr.com
Tiap orang menilai kekuatan-kekuatan yang menghasilkan keberhasilan (sukses) dan kegagalan dengan sikap berbeda-beda. Seorang pelamar kerja yang sudah berkali-kali mengikuti tes dan tidak pernah lolos seleksi, misalnya, bisa saja menyalahkan dirinya karena kekurangannya. Ia mungkin berpikir, ah saya sarjana payah. Pendek kata, ia menilai kegagalannya berasal dari dalam dirinya (Faktor Internal - FI).
Suatu hari, tesnya berhasil. Ia mungkin saja menilai bahwa keberhasilannya bukanlah disebabkan FI-nya, seperti kecerdasan atau kemampuan berbahasa. Tapi, karena keberuntungan. Ah, demikian pikirnya, barangkali karena tidak banyak yang melamar. Jadi, ia menyikapi kegagalan dan keberhasilan dirinya dengan cara berbeda. Ia menerima kegagalannya karena FI tapi keberhasilannya karena FE (Faktor Eksternal). Kesimpulannya, orang bisa punya LoC yang berbeda, baik untuk sukses maupun gagal.
Selain dikotomi internal dan eksternal, penting untuk memahami keadaan stabil dan labil. Sekali lagi contohnya orang yang menjalani tes. Alkisah, nilainya jatuh, karena pada saat tes ia kelelahan dan konsentrasinya buyar karena ibunya masuk UGD. Jika ia tes lagi dalam keadaan bugar dan ibunya baik-baik saja, ia akan bisa mencetak nilai tes yang bagus. Keadaan ia sedang lelah kita sebut FI sedang labil; dan fakta bahwa ibunya di UGD kita sebut sebagai keadaan (FE) sedang labil, yang sifatnya sementara.
Saat menghadapi kegagalan, kita dianjurkan untuk menyikapinya sebagai keadaan FI sedang labil. Juga FE yang kurang mendukung. Contoh, seorang atlet hari itu prestasinya memble karena sedang pilek dan kakinya keseleo (FI sedang labil), ditambah lagi cuaca habis hujan, becek dan licin (FE sedang labil). Dengan demikian harga diri dan rasa percaya dirinya terlindung dengan baik. Pada lain kesempatan, di mana FI stabil dan FE seperti biasanya, ia akan berprestasi.
Yang terjadi sering terbalik. Ada yang menganggap keberhasilannya karena dukungan FE, misalnya karena ekonomi bagus, dll. Dan, ketika ia menghadapi kegagalan, ia malahan menuduh FI sebagai biangnya, misalnya ia merasa ia goblok. Jika kegagalan itu terjadi beruntun, lama kelamaan harga diri dan rasa percaya dirinya akan ambyar sehingga ia terpuruk.
Sikap yang benar adalah menempatkan FI sebagai faktor yang membuat Anda meraih sukses. Jika Anda naik gaji atau dapat promosi, katakan pada diri sendiri bahwa Anda memperolehnya karena FI yang Anda miliki: kecerdasan, karisma, atau pun ketekunan. Bukan karena FE: anugerah dari bos. Anda layak mendapatkan keberhasilan itu karena jerih payah Anda sendiri, karena memang Anda punya kelebihan. Jika Anda tidak kena PHK, itu bukan karena Anda beruntung atau dikasihani bos, tapi memang Anda tahan banting. Jika Anda tiba-tiba mendapat peluang, itu bukan karena beruntung, tapi karena Anda sudah mejeng memposisikan diri untuk meng-embat peluang itu.
Saat menghadapi keberhasilan, sangat bijak untuk tidak membesar-besarkan FE, tapi jika Anda sedang dirundung kegagalan, lebih bijak menyimak FI dan FE lebih saksama. Yang disimak apa? Stabilitas. Bisa jadi FI kita sedang labil misalnya sakit. Atau, karena FE yang sedang labil, misalnya ada huru hara. Dengan demikian bagian FI kita yang rawan, yakni harga diri dan rasa percaya diri, akan terlindung.
Labil bermakna bahwa faktor-faktor itu bersifat sementara. Jika faktor-faktor itu sudah stabil, kita akan mudah bangkit lagi dan tidak gagal. Kita bisa mengerahkan FI yang lebih berdaya guna. Dengan demikian kita mampu menghadapi kegagalan bertubi-tubi tanpa menjadi terpuruk dalam lembah keputusasaan. Kita mampu memahami bahwa kegagalan yang kita derita sifatnya sementara. Dalam kata-kata puitis ‘mendung tak selalu kelabu’, ‘ badai pasti berlalu ‘, ‘esok penuh harapan’. Cengeng dan klise ? Mungkin. Tapi, percayalah ini pernyataan ilmiah yang didukung dengan riset.
portalhr.com
No comments:
Post a Comment